Riset: Perbedaan Otak Anak dari Keluarga Kaya dan Miskin
Monika Pandey – Studi terbaru menemukan anak-anak dari keluarga kaya cenderung memiliki ukuran otak lebih besar dibandingkan anak-anak dari keluarga miskin. Temuan ini dipublikasikan di Nature Neuroscience oleh tim ilmuwan dari University of Southern California.
Dalam riset yang melibatkan 1.099 partisipan berusia 3 hingga 20 tahun, para peneliti mengukur luas permukaan otak melalui pemindaian, kemudian membandingkannya dengan tingkat pendapatan orang tua. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan nyata di area otak yang berhubungan dengan bahasa, membaca, pengambilan keputusan, dan memori.
Penelitian juga menunjukkan bahwa perbedaan ukuran otak paling mencolok ditemukan pada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Misalnya, gap perkembangan otak lebih jelas terlihat antara anak-anak dari keluarga dengan pendapatan tahunan US$30.000 dan US$50.000, dibandingkan dengan perbedaan antara keluarga berpenghasilan US$90.000 dan US$110.000.
“Simak Juga: Radioterapi Kepala dan Leher, Antara Harapan Sembuh dan Kehilangan Indera Pengecap”
Temuan ini menyoroti bahwa sedikit peningkatan dalam pendapatan keluarga miskin dapat membawa dampak signifikan bagi perkembangan otak anak, terutama pada fase pertumbuhan awal.
Para peneliti menekankan bahwa kesenjangan ukuran otak ini bukan kondisi permanen. Faktor lingkungan, dukungan komunitas, akses pendidikan yang memadai, gizi seimbang, dan peran guru dapat membantu memperbaiki perbedaan tersebut.
Salah satu penulis laporan, Elizabeth Sowell, menegaskan bahwa penelitian ini tidak bermaksud menyatakan anak-anak miskin akan selamanya memiliki otak lebih kecil. “Itu sama sekali bukan pesannya. Justru kami ingin menunjukkan bahwa sumber daya dari keluarga yang lebih mampu, seperti nutrisi, pengasuhan, dan sekolah, membantu otak berkembang serta terhubung lebih baik,” jelasnya.
Selain faktor ekonomi, lingkungan tumbuh kembang anak juga memiliki pengaruh besar. Anak-anak yang mendapat stimulasi melalui buku, percakapan dengan orang tua, serta pengalaman sosial yang sehat, cenderung memiliki kemampuan kognitif lebih baik.
Sementara itu, kondisi stres berkepanjangan akibat tekanan finansial dapat mengganggu perkembangan otak. Hormon stres yang terlalu tinggi bisa memengaruhi bagian otak yang berhubungan dengan memori dan pengendalian emosi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas interaksi dalam keluarga sama pentingnya dengan aspek materi.
Studi ini membuka peluang bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk memberikan intervensi sejak dini. Program nutrisi, akses layanan kesehatan mental, dan kebijakan pendidikan inklusif dapat membantu anak berkembang lebih baik. Upaya-upaya ini diyakini mampu mengurangi kesenjangan otak antara anak kaya dan miskin.
Ahli perkembangan anak menekankan bahwa masa kanak-kanak adalah periode emas, di mana otak memiliki kemampuan plastisitas tinggi. Artinya, otak masih sangat mungkin berkembang pesat bila mendapat dukungan yang tepat, terlepas dari latar belakang ekonomi keluarga.
Temuan ini menegaskan bahwa kesenjangan perkembangan otak bukanlah takdir, melainkan tantangan yang bisa diatasi. Dengan dukungan nutrisi, pendidikan, dan pengasuhan yang sehat, anak-anak dari keluarga miskin tetap bisa berkembang dengan baik. Lingkungan yang positif juga memberi mereka peluang untuk mencapai perkembangan otak yang optimal.
“Baca Juga: Pertemuan Bersejarah? Zelensky Siap Jumpa Putin Untuk Akhiri Konflik”
This website uses cookies.