Kemenkes Bicara Soal Krisis Dokter di Indonesia, Begini Kondisinya
Monika Pandey – Krisis dokter dan tenaga medis profesional yang berkualitas masih menjadi masalah utama di Indonesia saat ini. Waktu tunggu pasien semakin panjang, distribusi dokter tidak merata, dan beban administrasi justru menyita waktu tenaga kesehatan. Dalam laporan terbaru Philips Future Health Index (FHI) 2025, ditemukan bahwa 77% pasien di Indonesia harus menunggu lama untuk bertemu dokter spesialis. Bahkan, 1 dari 2 pasien melaporkan kondisi kesehatannya memburuk karena tidak segera mendapat penanganan, dan 45% akhirnya harus dirawat di rumah sakit.
Presiden Direktur Philips Indonesia, Astri Ramayanti Dharmawan, menyebut kondisi krisis dokter dan tenaga medis ini sebagai tekanan yang terus meningkat terhadap sistem layanan kesehatan nasional yang harus segera diatasi.
Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) diyakini dapat menjadi solusi untuk memperbaiki efisiensi layanan kesehatan. Namun, kehadiran AI tidak lepas dari tantangan, terutama soal kepercayaan dari pasien dan tenaga medis.
“Teknologi bisa bantu efisiensi dan deteksi dini, tapi jika tidak dipercaya oleh pasien maupun dokter, adopsinya tidak akan maksimal,” ujar Astri dalam media briefing laporan Philips FHI 2025 di Jakarta, Rabu (24/7/2025).
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah membentuk tim kerja lintas sektor bernama POKJA AI yang melibatkan dokter, akademisi, praktisi IT, hingga startup. Tim ini fokus mengembangkan AI sebagai asisten pra-konsultasi yang membantu triase pasien lebih cepat dan akurat, bukan menggantikan peran dokter.
Setiaji, Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan Kemenkes, menyebut tiga area utama pengembangan AI saat ini adalah analisis citra medis (X-ray, MRI), genomic dan precision medicine, serta sistem konsultasi berbasis chatbot. Meski sudah ada AI untuk mendeteksi 30 penyakit paru, tantangan utama adalah menjaga privasi data, menjamin keamanan, dan memastikan sistem interoperabel.
Direktur Utama RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Dr. Iwan Dakota, mengungkapkan rumah sakitnya telah mengintegrasikan AI dalam berbagai layanan, mulai dari MRI, CT-scan jantung, hingga monitoring ritme jantung 24 jam nonstop. Rumah sakit ini juga menggunakan robotik untuk operasi bypass jantung.
“Tantangan terbesar bukan alat, tapi membangun kepercayaan. Pasien sering bertanya soal sumber dan akurasi data,” katanya. RS ini aktif mengedukasi pasien dan keluarga bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan dokter.
Berbeda dengan rumah sakit pemerintah, Mandaya Hospital Group menghadapi dilema dalam memilih teknologi AI. Presiden Direktur Mandaya, dr. Ben Widaja, menyatakan investasi di AI lebih rumit dibanding membeli alat medis konvensional.
“Menerapkan deep learning untuk memperbaiki hasil pemindaian dan asisten digital sudah dilakukan, tapi AI tidak bisa menggantikan sentuhan manusia,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya dokter dan perawat yang paham AI agar transformasi digital berjalan efektif.
Laporan FHI 2025 mencatat 56% tenaga medis merasa waktu bersama pasien berkurang karena beban administrasi, dan 62% kehilangan waktu klinis akibat data yang tidak lengkap. Meskipun 84% tenaga medis optimistis AI bisa meningkatkan kualitas layanan, hanya 41% yang percaya alat yang dipakai benar-benar sesuai kebutuhan.
Astri menegaskan, “Kita harus bicara soal desain sistem yang manusiawi, yang membantu dokter dan pasien merasa terlibat dan terlindungi.” Pelatihan sejak dini, keamanan data, dan keterlibatan pimpinan rumah sakit menjadi kunci membangun kepercayaan.
Philips percaya fondasi utama keberhasilan adopsi teknologi adalah kepercayaan. Tanpa itu, implementasi AI hanya menjadi proyek sementara, bukan solusi jangka panjang. Membangun kepercayaan ini harus dilakukan secara menyeluruh, melibatkan semua pihak dalam ekosistem kesehatan.
“Simak Juga: Namaste, Lebih dari Sekadar Salam, Sebuah Simbol Kehormatan”
This website uses cookies.