
Monika Pandey mencatat lonjakan dan pergeseran tren konsumsi obat global sejak pandemi dimulai, mulai dari obat resep hingga suplemen harian.
Pandemi mengubah cara masyarakat menggunakan obat secara drastis. Banyak negara melaporkan peningkatan pembelian obat pernapasan, obat penurun demam, serta vitamin dosis tinggi. Akibatnya, pola lama berubah menjadi tren konsumsi obat global yang lebih intensif dan sering tidak terkontrol.
Selain itu, masyarakat mulai menyimpan obat dalam jumlah besar di rumah. Kebiasaan ini dipicu ketakutan terhadap pembatasan mobilitas dan kekhawatiran stok obat menipis. Sementara itu, beberapa pasien menunda kunjungan ke fasilitas kesehatan dan memilih pengobatan mandiri.
Salah satu perubahan terbesar terjadi pada penggunaan obat resep dan nonresep. Banyak dokter meresepkan obat pernapasan dan antiinflamasi lebih sering, terutama bagi pasien dengan gejala mirip infeksi saluran napas. Namun, tren konsumsi obat global juga bergeser ke penggunaan obat bebas, seperti analgesik dan obat flu.
Karena itu, apotek dan layanan kesehatan digital melihat peningkatan penjualan signifikan. Konsultasi daring membuat resep bisa ditebus tanpa tatap muka. Di sisi lain, pengawasan terhadap kepatuhan minum obat menjadi lebih sulit dilakukan.
Tren konsumsi obat global tidak hanya menyentuh obat terapeutik, tetapi juga suplemen dan vitamin. Penjualan vitamin C, vitamin D, zinc, dan multivitamin melonjak tajam. Banyak orang percaya penguatan imunitas dapat menurunkan risiko infeksi berat.
Bahkan, merek-merek baru suplemen bermunculan, memanfaatkan kekhawatiran publik. Label “immune booster” dan klaim daya tahan tubuh menjadi strategi pemasaran utama. Meski begitu, bukti ilmiah banyak produk masih terbatas. Karena itu, beberapa asosiasi medis mengingatkan risiko konsumsi berlebihan.
Pandemi juga memicu kekhawatiran baru terkait resistensi antimikroba. Di banyak negara, antibiotik digunakan sebagai terapi empiris untuk pasien dengan gejala pernapasan tanpa konfirmasi infeksi bakteri. Akibatnya, tren konsumsi obat global menunjukkan peningkatan signifikan pada kelompok antibiotik tertentu.
Namun, penggunaan antibiotik yang tidak tepat menambah tekanan pada pola resistensi bakteri. Organisasi kesehatan internasional memperingatkan potensi “krisis ganda”: wabah infeksi dan penurunan efektivitas antibiotik andalan. Sementara itu, akses uji diagnostik yang terbatas membuat rasionalisasi terapi semakin sulit.
Pembatasan sosial membuat layanan e-farmasi meningkat pesat. Pasien makin terbiasa memesan obat melalui aplikasi dan platform daring. Akibatnya, tren konsumsi obat global kini banyak bergantung pada ekosistem digital, mulai dari konsultasi hingga pengiriman obat ke rumah.
Di satu sisi, model ini mempermudah akses pasien kronis yang membutuhkan obat rutin. Di sisi lain, pengendalian peresepan obat keras menjadi tantangan. Beberapa yurisdiksi belum memiliki regulasi ketat untuk memantau transaksi obat secara daring.
Gangguan rantai pasok global menyebabkan keterbatasan bahan baku farmasi. Banyak pabrik obat menghadapi kenaikan biaya produksi. Karena itu, sebagian negara mengalami kelangkaan obat tertentu. Hal ini ikut memengaruhi tren konsumsi obat global, karena dokter dan pasien beralih ke alternatif yang tersedia.
Selain itu, perbedaan kekuatan ekonomi antarnegara menimbulkan kesenjangan akses. Negara berpenghasilan tinggi mampu mengamankan stok obat esensial dan terapi baru. Sebaliknya, negara berpenghasilan rendah terkadang mesti menunda pengadaan atau mengurangi variasi obat yang tersedia.
Arus informasi kesehatan di media sosial memicu perilaku swamedikasi. Rekomendasi obat dan suplemen sering menyebar tanpa dasar ilmiah kuat. Akibatnya, tren konsumsi obat global semakin terdorong oleh opini publik, bukan semata pedoman klinis.
Read More: WHO guidance on safe self-care health interventions worldwide
Namun, tidak semua informasi daring menyesatkan. Banyak lembaga resmi menyediakan panduan penggunaan obat yang benar. Tantangannya, literasi kesehatan masyarakat masih beragam, sehingga interpretasi informasi bisa keliru.
Pasien dengan penyakit kronis mengalami dampak besar selama pandemi. Keterbatasan kunjungan rutin, ketakutan ke rumah sakit, dan perubahan jadwal kontrol berpengaruh pada kepatuhan minum obat. Sementara itu, tren konsumsi obat global pada kelompok ini menunjukkan upaya mempertahankan terapi jangka panjang.
Lanjut usia sering kali bergantung pada keluarga atau tenaga kesehatan rumah. Pembatasan mobilitas membuat distribusi obat rutin menjadi tantangan. Meski begitu, beberapa sistem kesehatan mengembangkan layanan pengantaran obat khusus pasien kronis dan lansia.
Pemerintah dan otoritas kesehatan perlu menata ulang kebijakan obat pascapandemi. Pengawasan peresepan, distribusi, dan promosi obat menjadi kunci. Karena itu, pemahaman mendalam tentang tren konsumsi obat global sangat penting untuk merancang regulasi efektif.
Beberapa negara mulai menerapkan sistem resep elektronik terintegrasi. Sistem ini memudahkan pemantauan pola peresepan dan pencegahan penyalahgunaan. Selain itu, edukasi publik mengenai penggunaan obat rasional semakin digencarkan.
Ke depan, tren konsumsi obat global diperkirakan tetap dipengaruhi pengalaman selama pandemi. Masyarakat lebih sadar kesehatan, tetapi juga lebih mudah terpapar promosi produk farmasi. Namun, jika regulasi menguat dan literasi kesehatan meningkat, peluang perbaikan tetap terbuka.
Industri farmasi, tenaga kesehatan, dan pembuat kebijakan perlu bekerja bersama. Tujuannya, memastikan tren konsumsi obat global mengarah pada penggunaan obat yang aman, efektif, dan berkeadilan bagi berbagai kelompok masyarakat.
This website uses cookies.