Konten Receh Bisa Sebabkan Brain Rot? Ini Kata Pakar
Monika Pandey – Istilah brain rot atau “pembusukan otak” menjadi perhatian setelah Oxford University Press menetapkannya sebagai Word of the Year pada 2023. Istilah ini merujuk pada kemunduran mental atau intelektual akibat konsumsi berlebihan konten ringan atau dangkal di media sosial dan platform online.
“Konten receh itu seperti junk food untuk otak,” kata Dr. Andreana Benitez. Ia adalah profesor asosiasi neurologi dari Medical University of South Carolina, Amerika Serikat. Meski istilahnya terdengar ekstrem, brain rot tidak menggambarkan pembusukan fisik otak, melainkan penurunan fungsi kognitif akibat penggunaan gawai secara berlebihan.
Menurut data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention), setengah dari remaja di AS menghabiskan lebih dari empat jam per hari di depan layar. Lain halnya dengan orang dewasa rata-rata bisa online lebih dari enam jam setiap harinya.
“Baca Juga: Penurunan Angka Kelahiran di Jepang Semakin Mencemaskan”
Meskipun belum ada pedoman resmi tentang durasi layar yang sehat, penelitian menunjukkan bahwa remaja yang terlalu sering menggunakan gawai berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental. Ini seperti kecemasan, depresi, ADHD, hingga gangguan fisik seperti nyeri dan pusing.
Sebuah studi dari Adolescent Brain Cognitive Development Study menemukan bahwa anak-anak dengan paparan layar berlebihan mengalami penurunan fungsi otak. Penurunan tersebut mencakup daya ingat, kemampuan perencanaan, dan pengambilan keputusan.
Menurut Dr. Constantino Iadecola dari Weill Cornell Medical Center, New York, bukan hanya soal durasi, tetapi apa yang tidak dilakukan saat kita terpaku pada layar. “Semakin lama seseorang menatap layar, semakin sedikit waktu untuk aktivitas fisik dan interaksi sosial nyata yang penting bagi perkembangan otak, terutama pada anak dan remaja,” jelasnya.
Otak manusia berkembang optimal ketika mendapat stimulasi kompleks melalui interaksi langsung, pengalaman fisik, dan emosi nyata. Hal ini tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh dunia digital.
Bukan hanya durasi menonton yang jadi masalah, tetapi juga kualitas konten yang dikonsumsi. “Jika Anda terus-menerus mengonsumsi konten berkualitas rendah dalam jumlah besar, persepsi terhadap realitas bisa terdistorsi, dan kesehatan mental ikut terdampak,” ujar Benitez.
Konten negatif, dramatis, atau dangkal bisa menyebabkan kelelahan mental secara perlahan. Namun, belum ada batasan pasti tentang berapa banyak yang dianggap “terlalu banyak”. Benitez mengibaratkan, “Sekantong keripik mungkin tidak berbahaya. Tapi tiga kantong sekaligus? Itu bisa jadi masalah.”
Benitez menekankan pentingnya membimbing anak-anak, dan juga orang dewasa, untuk mengonsumsi konten yang lebih sehat. “Dalam dunia digital yang begitu melekat dengan kehidupan sehari-hari, tugas kita bukan menjauhkan layar. Namun, memastikan mereka terlibat dalam pemikiran kritis saat menggunakannya.”
Dengan kesadaran dan kontrol yang baik, brain rot bukanlah akhir dari segalanya. Namun, sebagai pengingat bahwa otak kita, seperti tubuh, juga butuh asupan yang bergizi dan seimbang.
“Simak Juga: Serentak Menanam, Hijaukan Kembali Kawasan Danau Toba”
This website uses cookies.