
Monika Pandey – Dokter kini menekankan penggunaan antibiotik yang bijak karena pemakaian sembarangan memicu resistensi bakteri dan berbagai efek samping serius.
Pakar kesehatan menilai penggunaan antibiotik yang bijak sebagai kunci menjaga efektivitas obat infeksi bakteri. Banyak pasien masih meminta antibiotik untuk flu dan batuk biasa. Padahal, sebagian besar penyakit tersebut disebabkan virus, bukan bakteri. Karena itu, antibiotik tidak akan membantu.
Sementara itu, penggunaan antibiotik yang bijak juga melindungi pasien dari efek samping. Contohnya diare berat, reaksi alergi, serta gangguan organ hati dan ginjal. Risiko ini meningkat jika pasien mengonsumsi obat tanpa resep, menggandakan dosis, atau menghentikan pengobatan sebelum waktunya.
Di sisi lain, penggunaan antibiotik yang bijak berperan dalam mencegah krisis resistensi antimikroba. Bakteri yang sering terpapar antibiotik akan belajar bertahan. Akibatnya, obat standar tidak lagi ampuh, dan dokter terpaksa memakai antibiotik yang lebih kuat, lebih mahal, dan tidak selalu tersedia.
Dokter meresepkan antibiotik ketika infeksi bakteri sudah jelas. Misalnya pneumonia bakteri, infeksi saluran kemih, infeksi kulit berat, atau demam tifoid. Dalam kasus ini, penggunaan antibiotik yang bijak justru menyelamatkan nyawa dan mencegah komplikasi.
Selain itu, antibiotik sering diperlukan pada pasien dengan daya tahan tubuh rendah. Contohnya pasien kemoterapi, lansia sangat lemah, atau penderita HIV dengan kadar imun rendah. Pada kelompok ini, infeksi bakteri kecil dapat berkembang menjadi sepsis bila tidak diobati segera.
Dalam beberapa prosedur operasi, dokter juga memberikan antibiotik untuk pencegahan. Meski begitu, penggunaan antibiotik yang bijak tetap diterapkan dengan cara memilih jenis, dosis, dan durasi paling pendek yang masih efektif. Prinsipnya, cukup untuk mencegah infeksi, tidak berlebihan.
Antibiotik menjadi berbahaya saat digunakan tanpa indikasi jelas. Contohnya untuk flu, batuk pilek ringan, atau diare akibat virus. Dalam kondisi ini, penggunaan antibiotik yang bijak seharusnya dihindari. Pemberian obat hanya menambah risiko efek samping, tanpa manfaat klinis.
Meski begitu, masih banyak pasien yang menyimpan sisa obat dan meminumnya lagi saat merasa demam. Kebiasaan ini sangat berisiko. Bakteri terpapar dosis tidak memadai dan mulai mengembangkan kekebalan. Akibatnya, penggunaan antibiotik yang bijak di tingkat masyarakat menjadi sulit diterapkan.
Selain itu, alergi antibiotik dapat menimbulkan reaksi berat, mulai dari ruam hingga anafilaksis. Pada pasien dengan riwayat alergi, setiap resep harus diawasi ketat. Dokter akan memilih jenis lain atau memantau dengan cermat demi menjaga penggunaan antibiotik yang bijak tetap aman.
Resistensi bakteri terjadi ketika mikroorganisme beradaptasi dan kebal terhadap obat. Fenomena ini meningkat akibat penggunaan antibiotik yang bijak yang gagal diterapkan secara luas. Bakteri resisten menyebar di rumah sakit, komunitas, bahkan lingkungan.
Karena itu, organisasi kesehatan global menempatkan resistensi antimikroba sebagai ancaman serius. Penyakit yang dulu mudah diobati kini membutuhkan obat cadangan yang lebih toksik. Sementara itu, tidak semua negara memiliki akses ke antibiotik generasi baru.
Baca Juga: Laporan lengkap WHO tentang ancaman resistensi antimikroba global
Akibatnya, prosedur medis seperti operasi besar, transplantasi organ, dan kemoterapi menjadi lebih berisiko. Tanpa penggunaan antibiotik yang bijak, dunia kedokteran dapat kembali ke masa ketika infeksi sederhana mematikan. Edukasi publik dan regulasi resep menjadi langkah penting menahan laju masalah ini.
Tenaga kesehatan memegang peran utama mengarahkan penggunaan antibiotik yang bijak. Dokter harus menjelaskan dengan bahasa sederhana kapan antibiotik perlu dan kapan tidak. Penjelasan menyentuh risiko jangka panjang resistensi, bukan hanya keluhan sesaat.
Apoteker juga berkontribusi besar. Mereka dapat menolak penjualan antibiotik tanpa resep di fasilitas resmi. Selain itu, mereka mengingatkan pasien untuk menghabiskan obat sesuai petunjuk. Dengan demikian, penggunaan antibiotik yang bijak terjaga dari ruang praktik hingga apotek.
Sementara itu, lembaga kesehatan dapat menyusun panduan klinis berbasis bukti. Panduan ini membantu dokter mengambil keputusan objektif, bukan sekadar memenuhi permintaan pasien. Program audit resep dan pelatihan berkala memperkuat budaya penggunaan antibiotik yang bijak di fasilitas kesehatan.
Pasien memegang kendali penting terhadap penggunaan antibiotik yang bijak di rumah. Mereka perlu menahan diri untuk tidak meminta obat saat dokter menilai penyakitnya viral. Sebaiknya, fokus pada istirahat, hidrasi, dan obat simptomatik yang lebih aman.
Selain itu, pasien harus mematuhi dosis, jadwal, dan durasi sesuai resep. Menghentikan obat ketika gejala membaik dapat mendorong bakteri yang tersisa menjadi kuat. Komitmen sederhana ini berkontribusi besar pada penggunaan antibiotik yang bijak secara luas.
Pasien juga sebaiknya tidak membagikan antibiotik kepada anggota keluarga lain. Setiap orang memiliki kondisi kesehatan berbeda. Karena itu, evaluasi profesional mutlak diperlukan. Bila ragu, konsultasi ulang selalu lebih aman daripada merusak prinsip penggunaan antibiotik yang bijak.
Peneliti terus mengembangkan antibiotik baru, namun laju resistensi bakteri sering lebih cepat. Tanpa komitmen kuat terhadap penggunaan antibiotik yang bijak, inovasi obat akan terus tertinggal. Sementara itu, biaya perawatan pasien dengan infeksi resisten juga meningkat tajam.
Dengan edukasi, regulasi, dan kedisiplinan bersama, masyarakat dapat mempertahankan senjata penting ini. Dokter, apoteker, dan pasien berbagi tanggung jawab yang sama. Pada akhirnya, masa depan kesehatan bergantung pada penggunaan antibiotik yang bijak di setiap resep, setiap pil, dan setiap keputusan pengobatan.
This website uses cookies.